review1st.com – Selular Media Network menggelar Selular Business Forum (SBF) tahun 2023. SBF yang mengangkat tema “Sustainability Operator Telekomunikasi Kunci Tangguhnya Ekosistem Digital di Indonesia” ini berlangsung di Beautika Panglima Polim, Jakarta, Senin (2/10/2023).
Dalam acara diskusi SBF 2023 ini, ada enam pembicara. Keenamnya yakni Direktur Penataan Sumber Daya Ditjen SDPPI Kementerian Kominfo, Denny Setiawan; Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Keuangan, Wawan Sunarjo; Direktur Telekomunikasi, Ditjen PPI Kementerian Kominfo, Aju Widya Sari.
Lalu ada Anggota Asosiasi Perusahaan Telekomunikasi Indonesia (ATSI), Rudi Purwanto; Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia (APJII), Muhammad Arif; Direktur Ekonomi Digital CELIOS Nailul Huda.
CEO Selular Media Network, Uday Rayana mengatakan infrastruktur digital, termasuk jaringan telekomunikasi, pusat data, dan platform digital, merupakan tiang utama yang menopang industri digital. Tanpa infrastruktur yang kuat dan handal, tidak akan mungkin bagi bisnis dan perekonomian digital untuk berkembang.
Infrastruktur digital yang baik adalah landasan yang diperlukan untuk menghubungkan masyarakat, memfasilitasi transaksi online, dan mengaktifkan layanan digital lainnya.
Operator telekomunikasi adalah pilar dalam menopang industri dan perekonomian digital di Indonesia, serta akan terus berperan penting di masa depan.
Operator seluler bertanggung jawab untuk membangun dan memelihara infrastruktur telekomunikasi yang kuat dan handal, sehingga memungkinkan bisnis digital, layanan publik digital, dan inovasi lainnya untuk berkembang dengan optimal.
“Keberhasilan industri dan perekonomian digital Indonesia sangat tergantung pada peran operator telekomunikasi dalam menyediakan konektivitas yang luas, cepat, dan andal kepada masyarakat serta membantu menciptakan ekosistem digital yang inklusif dan inovatif,” ujar Uday.
Dengan pemahaman ini, penting bagi pemerintah dan semua pemangku kepentingan untuk memberikan dukungan yang kuat dan memastikan kondisi yang kondusif bagi operator telekomunikasi.
Hal tersebut yang juga membuat Selular Media Network menggelar Selular Business Forum dengan tema “Sustainability Operator Telekomunikasi Kunci Tangguhnya Ekosistem Digital di Indonesia”
“Kolaborasi yang erat antara operator telekomunikasi, pemerintah, dan sektor lainnya akan membantu memajukan industri dan perekonomian digital Indonesia, serta mempersiapkan masa depan yang lebih cerah di era digital yang terus berkembang,” jelasnya.
Industri Telekomunikasi Tidak Baik-Baik Saja
Namun di tengah posisinya yang semakin strategis, terutama sebagai enabler bagi industri lainnya, kita justru menyaksikan industri telekomunikasi saat ini tidak sedang baik-baik saja.
Sejak memasuki masa kejenuhan (saturated) pada 2013, pertumbuhan industri telekomunikasi khususnya selular, kini tak lagi mewah. Jika sebelumnya double digit, sekarang sudah single digit.
Berdasarkan data resmi Badan Pusat Statistik (BPS), industri telekomunikasi tumbuh melambat ke level 7,19% secara tahunan. Fakta ini menjadi alarm bagi ekosistem industri teknologi digital yang mampu tumbuh tinggi saat pandemi Covid-19.
Pertumbuhan yang melambat juga tercermin dari ARPU (average revenue per user). ARPU merupakan salah satu indikator kesehatan industri telekomunikasi.
ARPU yang rendah pada akhirnya tentu akan berkontribusi pada pencapaian laba yang juga kurang optimal, sehingga mempengaruhi upaya operator dalam melakukan investasi dan melayani pelanggan dengan baik.
Tiga dekade lalu, sebelum maraknya layanan data dan sosial media, ARPU operator telekomunikasi, khususnya selular mencapai Rp 75.000 – Rp 100.000. Namun di akhir 2022, tidak ada satu pun operator selular yang ARPU gabungannya (prabayar dan pasca bayar) menyentuh angka Rp 50.000.
Permasalah Operator Telekomunikasi
Uday juga menyebut terdapat enam persoalan utama yang mendera industri telekomunikasi khususnya seluler, sehingga tumbuh stagnan hingga saat ini. Keenam permasalah tersebut yakni:
1. Regulasi super ketat
2. Tarif data yang terbilang murah
3. Kebutuhan fekwensi terus meningkat namun harga spektrum sangat mahal
4. Besarnya regulatory chargers, dari BHP frekwensi hingga USO
5. Kewajiban membangun hingga pelosok namun minim insentif
6. Ketimpangan kebijakan operator selular dibandingkan penyelenggara OTT (over the top)
Imbas dari berbagai permasalahan tersebut membuat industri telekomunikasi tidak maksimal dalam mengembangkan peran sebagai enabler di era digital yang berkembang pesat saat ini. Untuk kembali sehat, diperlukan solusi-solusi yang bersifat komprehensif.
Menggantikan PNBP
Anggota Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Indonesia (ATSI) Rudi Purwanto dalam diskusi tersebut mengatakan ATSI memberikan usulan kepada pemerintah. Usulan tersebut di antaranya mengganti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang selama ini menjadi beban operator seluler dengan hal lainnya.
“Saat ini regulatory charge untuk operator seluler lebih dari 10 persen dan tidak sehat. Kami berharap pemerintah dapat mengganti PNBP termasuk Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi dengan pemerataan jaringan hingga daerah pelosok, meningkatkan rangking kecepatan internet di Indonesia yang tertinggal,” ujarnya.
“Selain itu, Mempercepat Penetrasi/coverage dan pemerataan infrastruktur digital; Meningkatkan GDP & Pajak; Membuka lapangan kerja dan usaha; Meningkatkan bandwidth per kapita; Meningkatkan konektifitas untuk industry 4.0, IKN , smart city , KEK, DWSP dan lain-lain; Meningkatkan digital ekonomi,” sambungnya.
Hal senada juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif katakan di mana kecepatan internet Indonesia yang tertinggal dari negara tetangga dikarenakan pemerataan jaringan yang belum baik. “Kalau perbandingan antara Singapura dan Jakarta mungkin kita tidak kalah tetapi kalau berbicara Indonesia ya kita jelas tertinggal,” ungkapnya.
“Jangan bicara kualitas terlebih dahulu. Mari kita bicara tentang pemerataan. Setelah pemerataan, baru bisa kita improve kualitasnya dan hal ini perlu ada pandangan yang sama antara industri dengan pemerintah demi memajukan ekonomi digital kita,” jelasnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Penataan Sumber Daya Ditjen SDPPI Kementerian Kominfo Denny Setiawan mengatakan jika sudah ada revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Semoga dengan revisi PP ini juga dapat memajukan operator telekomunikasi. Kami juga akan tampung dan kaji terlebih dahulu usulan dari ATSI, bahwa kami juga memiliki target dari Kemenkeu terkait PNBP. Supaya target terpenuhi, tetapi keberlanjutan operator bisa juga terus berlanjut,” ungkap Denny.
Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Keuangan Wawan Sunarjo juga mengungkapkan pihaknya akan sangat terbuka jika operator telekomunikasi keberatan dengan PNBP yang sudah ditetapkan.
“Kami juga akan menerima usulan dari ATSI terkait pengurangan PNBP dan diganti dengan janji yang telah disampaikan seperti Mempercepat Penetrasi/coverage dan pemerataan infrastruktur digital; Meningkatkan GDP & Pajak; Membuka lapangan kerja dan usaha. Tetapi harus lebih detail laporannya sehingga pertanggungjawabannya jelas,” ungkapnya.
“Kementerian Keuangan juga tidak ingin ada operator telekomunikasi yang tutup karena beban PNBP dirasa memberatkan dan jika terjadi PHK maka kami juga yang repot karena harus menggunakan APBN untuk bantuan sosial,” sambungnya.
Sementara itu pengamat ekonomi digital, Direktur Ekonomi Digital CELIOS Nailul Huda menyebut ekonomi digital harus dinikmati segala kalangan termasuk di daerah 3T.
“Untuk mencapainya tentu dunia industri dan pemerintah harus saling bahu membahu. Pemerintah juga memberikan insentif dan insetif ini diharapkan dapat membuat operator telekomunikasi kita jadi lebih baik lagi pendapatannya bahkan bisa dua digit,” tandasnya.