Berita  

AiDEA Weeks 2025 Bahas Masa Depan Seni, Musik, dan Budaya

review1st.com — Memasuki pekan kedua penyelenggaraan AiDEA Weeks 2025 (AiW), forum publik “Embracing The New Age of AI” menghadirkan rangkaian diskusi mendalam mengenai hubungan antara kecerdasan buatan (AI) dan berbagai bentuk ekspresi manusia, termasuk seni visual, musik, serta pelestarian budaya.

Setelah pekan pertama berfokus pada masa depan pekerjaan, produksi kreatif, dan produktivitas, pekan kedua AiDEA Weeks 2025 memperkenalkan perspektif baru mengenai dampak AI bagi industri kreatif dan budaya Indonesia.

AI dan Kreativitas: Interaksi Kompleks Antara Teknologi dan Identitas Budaya

AiDEA Weeks 2025 Bahas Masa Depan Seni, Musik, dan Budaya

Tiga sesi utama pada pekan ini menyoroti bagaimana pertemuan antara AI dengan seni dan budaya memunculkan tantangan baru terkait:

  • Identitas kreatif dan estetika
  • Hak cipta dan kepemilikan karya
  • Nilai-nilai budaya dan otentisitas
  • Peran teknologi dalam mendukung pelestarian warisan budaya

Dalam sambutan pembukaan, Wakil Menteri Kebudayaan RI, Giring Ganesha Djumaryo, menegaskan bahwa AI harus ditempatkan sebagai alat pendukung, bukan pengganti insan seni dan budaya:

“AI harus mendukung pemajuan kebudayaan, bukan menggantikan budayawan dan seniman. Teknologi ini harus membantu masyarakat, bukan membuat mereka kehilangan identitas budaya.”

1. Artificial Intelligence, Between Arts & Crafts

Di tengah kemajuan generative AI, seniman di seluruh dunia menghadapi disrupsi besar. AI mampu meniru gaya visual, mengeksekusi karya dalam hitungan detik, dan memproduksi generative art secara massal. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang:

  • Orisinalitas karya
  • Penurunan nilai seni
  • Penggunaan karya manusia untuk pelatihan model tanpa izin
  • Potensi pelanggaran hak cipta
BACA JUGA
Samsung Perkuat Posisi sebagai Merek Monitor Gaming No.1 di Dunia

Survei DACS (2024) terhadap 1.000 seniman menunjukkan tingginya keresahan terhadap implikasi AI, sementara studi Lovato et al. (2024) menegaskan tuntutan transparansi data dan keadilan komersial dalam pemanfaatan output AI.

Perdebatan ini semakin relevan dengan munculnya fenomena seperti “Ghiblification” serta kasus hukum seperti gugatan Warner Bros. terhadap Midjourney.

Laporan Kantor Hak Cipta AS (2025) juga menyatakan bahwa karya yang sepenuhnya dibuat oleh AI tanpa kontribusi kreativitas manusia tidak dapat dilindungi hak cipta.

Perspektif Seniman dan Praktisi AI

Dalam sesi yang dimoderatori oleh Visual Artist dan Co-founder ECYCE Mahaputra Wikandhitya, dua narasumber berbagi pandangan:

  • Rato Tangela (Visual Artist): “AI bukan hanya alat, tetapi juga creative partner. Ia bisa memberi feedback objektif dan menjadi pendamping proses kreatif.”
  • Eddy Sukmana (Photographer / AI Creator): “Ketika AI semakin masuk ke kehidupan kita, justru karya konvensional akan memiliki nilai yang lebih besar.”

2. AI for Better Cultural & Traditional Awareness

Sesi kedua menghadirkan diskusi tentang peran AI dalam pelestarian budaya, dengan pembicara:

  • Azhar Muhammad Fuad (Founder Lotus / Curawada Tech)
  • Gustav Anandhita (Founder dan Akademisi / AI Nusantara)
  • Moderator: Rayan Muktiaki (Chairman AiW 2025 / Hoop Creative)

AI kini berpotensi membantu budaya melalui:

  • Digitalisasi manuskrip kuno
  • Pelestarian arsip sejarah
  • Terjemahan teks tradisional
  • Simulasi interaktif untuk edukasi generasi muda

Namun, resistensi tetap kuat. Survei UNESCO (2023) menunjukkan kekhawatiran terhadap homogenisasi budaya, hilangnya otentisitas, hingga isu kepemilikan budaya.

BACA JUGA
Bnetfit dan Linknet Bersinergi Hadirkan Internet Berkecepatan Tinggi

Gustav Anandhita menegaskan manfaat besar AI:

“AI adalah medium baru yang mampu menghidupkan kembali tokoh masa lalu dan menerjemahkan pengetahuan lama ke generasi baru.”

3. Music Meets Machine: AI dalam Industri Musik

AI kini menjadi kekuatan besar dalam industri musik global:

  • Menciptakan melodi
  • Meniru suara musisi
  • Memproduksi lagu lengkap
  • Membantu mixing, mastering, hingga penulisan lirik

Namun, perubahan ini memicu kekhawatiran. Lembaga musik seperti SACEM dan GEMA mencatat bahwa 71% musisi khawatir kehilangan pendapatan akibat otomasi oleh AI.

Lebih dari 200 musisi dunia—termasuk Billie Eilish, Stevie Wonder, dan Dua Lipa—menandatangani surat terbuka menolak praktik “predatory AI”.

Tetap ada optimisme. Survei Ditto Music (2023) menemukan 59,5% musisi independen sudah memanfaatkan AI untuk memperluas kreativitas.

Di Indonesia, platform seperti Trebel Music mulai merilis fitur AI untuk eksplorasi lirik dan personalisasi playlist.

Pemerintah melalui Kominfo juga menyiapkan roadmap regulasi untuk menangani isu seperti deepfake musik dan pelabelan konten berbasis AI.

Sesi ini menghadirkan:

  • Noor Kamil (Musician Manager)
  • Tuan Tigabelas (Hip Hop Artist / Producer)
  • Moderator: Shindu Alpito (Senior Music Journalist, Medcom)

Noor Kamil menekankan pentingnya keseimbangan manusia–AI dalam proses kreatif:

“AI sangat membantu produksi musik, tetapi rasa dan pengalaman tetap harus datang dari artisnya. Pada akhirnya semuanya kembali ke critical thinking kita karena AI hanyalah asisten.”