review1st.com – Tahun ini, perhelatan ini dihadirkan dengan tema Getting Into The New Digital Competition dan dilaksanakan secara virtual oleh MarkPlus, Inc.
Diantaranya relaksasi regulasi pemerintah yang sangat ketat pada masa pandemi, perkembangan womenpreneurs, suksesnya MotoGP di Mandalika, investigasi jatuhnya pesawat Boeing, metaverse, hingga peranan Gen-Z yang saat ini mendominasi berbagai lini sosial media.
1. Blockchain Technology: The Rise of NFT
Output-nya pun mengesankan, terjual habis di waktu yang cenderung singkat. Pada tren metaverse, beberapa proyek akan berprestasi dibanding lainnya.
Sejalan dengan kondisi pasar yang semakin jenuh, investor, creator, dan pengguna akan beralih ke dunia metaverse dengan popularitas tertinggi.
Menawarkan berbagai kemudahan untuk menikmati experience dari rumah. Terus meningkatnya tren metaverse menuntut pemain industri untuk agile.
Mendalami apa sebenarnya metaverse dan apa manfaatnya bagi perusahaan. Oleh karenanya, MarkPlus, Inc. menghadirkan guest star Andes Rizky selaku Founder Shinta VR Indonesia.
“Ini karena perusahaan sadar bahwa this is preparation time, momentum untuk mempersiapkan hingga nanti buahnya bisa dipetik.
“Hingga metaverse bisa membantu segala kebutuhan hidup manusia.”, buka Andes.
Ini menampakkan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan interkoneksi akan menjadi market yang besar”, tambah Andes dalam HK Webseries 3, Kamis (31/3).
2. G20 Priority Issues: Health, Digital, dan Sustainable Energy
Bagi Hermawan, tiga fakta ini mampu menjadi strategi dan terobosan bagi entrepreneur agar dilirik pemerintah.
Sebab itu, Hermawan menyatakan “Kalau kita memperhatikan tiga sektor ini, akan betul-betul didukung pemerintah karena pemerintah menuju ke sana”, ujarnya.
3. Turbulent Economy: A Disrupted Recovery
Bagaimana korporasi saling bertanding membangun layanan digital yang kontekstual dan terpercaya, menarik generasi baru atau bisnis di berbagai segmen, berkolaborasi dengan berbagai pemain industri, hingga membangun pengalaman konsumen baik itu OMNI, digital offline, dan online.
4 . FOMO Generations: Is Everyone Making Money But You
Fenomena (Fear of Missing Out) kembali mewabah di era ini. Bagaimana tidak? Label tokoh entrepreneur ‘crazy rich’ terus bermunculan, berdampak pada budaya flexing generasi muda yang kian meninggi ditunjukkan di sosial media.
Hermawan menilai kekhawatiran Gen Z meningkat dengan fenomena ini, mendorong mereka menuju Hustle Culture.
Lantas siapa yang sebenarnya Crazy Rich? Real Rich? atau, Real Crazy Rich? Raffi Ahmad misalnya, selebriti yang kerap disebut sebagai crazy rich.
Bagi Hermawan, Raffi adalah sosok crazy rich yang cermat. “Raffi Ahmad sedang naik daun, dia tahu entertainment industry tidak sustainable, maka ia memperluas jangkauannya ke banyak lini bisnis.
“Dari jiwa entrepreneur, bisa melihat kesempatan.”.
Bicara soal real-crazy rich, Hermawan mengisyaratkan tokoh-tokoh di film Tinder Swindler dan Inventing Anna produksi Netflix, “Jangan ikut-ikutan berbisnis tapi menipu, lebih baik cuan tapi diam-diam.
“Teknologi sisi buruknya seperti ini, flexing agar banyak followers, padahal followers banyak juga berbahaya”., ujarnya.
5. Multiverse Market: Offline Plus and Online Plus.
Banyak usaha yang hanya berfokus pada kanal online atau offline yang mereka miliki. Padahal konsumen online dan offline sudah bercampur, sehingga pemasar tidak lagi bisa membedakan konsumen dari online atau offline.
Maka sebagai pemasar harus menggunakan multiverse, yaitu berada di universe online dan offline. “Kalau kita melihat pasar secara multiverse, offline plus dan online plus sesungguhnya sedang terjadi.
“Pasar telah berubah total. Kalau tidak bergerak online, anda bergerak terlampau pelan. Tapi tetap harus ada improvisasi”, Hermawan menambahkan “Maka salurkan ide yang mampu aktif secara OMNI.”
Menutup perhelatan ini, Hermawan Kartajaya menekankan pentingnya penerapan CIEL dan PIPM oleh perusahaan.
“Start-Up harus bisa mengawinkan CIEL (Creativity, Innovation, Entrepreneurship, dan Leadership).
“Buku mengenai ini sedang ditulis oleh Dr Jacky Mussry, Dean MarkPlus Institute yang semoga bisa dirilis di Bali menjelang G20.”
Lebih lanjut Hermawan menekankan “Tidak cuma CIEL, ada PIPM (Productivity, Improvement, Professionalism, dan Management)-nya juga.
Dengan ini perusahaan mampu menghasilkan profit dan improvement. Tanpa CIEL dan PIPM dari mana investor mau datang. Maka CIEL dan PIPM musti dipersatukan.”, tutup Hermawan.
Berdasarkan analisa di atas, terdapat beberapa taktik bagi perusahaan untuk memenangkan Digital War di 2022, yang pada webinar ini dipaparkan oleh Ardhi Ridwansyah selaku COO MarkPlus Institute, dan Giovanni Alexander, Senior Associate MarkPlus, Inc. di antaranya:
Corporate vs Corporate:
- Membangun layanan digital: aplikasi MyPertamina
- Berinvestasi secara bertahap pada aktivitas pemasaran generasi baru: Bank BUMN x Metaverse
- Berkolaborasi dengan pemain digital lain: Unilever x Shopee
- Meningkatkan pengalaman pelanggan: PLN Mobile
Corporate vs Start-Up:
- Membangun layanan yang kontekstual: BCA x Cloudera
- Menarik generasi baru dengan teknologi: Telkomsel By-U
- Intermediasi dengan pemain industri lain: RANS Entertainment x Noice
- Membangun pengalaman via online: Gramedia
Digital Start-Up vs Corporate:
- Membangun layanan bereputasi dan terpercaya: Ruang Guru dengan Brand Ambassadors
- Menarik premium atau bisnis segment dengan humanity : Kopi Kenangan Heritage
- Disintermediasi (penghapusan rantai pasokan) dengan pemain industri lainnya: Anteraja
- Membangun pengalaman offline: Sociolla (pengalaman berbelanja fisik)
Start-Up vs Start-Up:
- Membangun product market fit: Bibit menyediakan Robo Advisor
- Menarik premium atau bisnis segment dengan Bionic (memadukan teknologi dan manusia): BLITS (Blibli Loyalty Team Service)
- Membangun ekosistem: Goto (kolaborasi Goride, Paylater, Tokopedia, dan Gopay)
- Membangun OMNI experience: JD.id (membangun fitur nearby shop dan Online2Offline)